BADUNG – Perusahaan modal ventura lokal mulai membidik sejumlah perusahaan rintisan yang potensial untuk makin berkembang tahun depan.
Head of Business Development Astra Digital, Suwandi memperkirakan bahwa ke depan beberapa perusahaan rintisan yang bergerak di sektor teknologi finansial (tekfin), kecerdasan buatan, kesehatan dan edukasi akan bertumbuh pesat. Astra berpotensi untuk bekerja sama dengan sektor tersebut.
Dia mengatakan alasan perseroan tertarik terhadap tekfin karena perseroan ingin mengenal pelanggan mereka lebih jauh, mengingat data yang dimiliki oleh tekfin berkualitas.
Dengan portofolio bisnis yang sangat banyak, data tersebut sangat berguna bagi bisnis Astra. Sektor tekfin pun saat ini masih luas pasarnya dan masih akan terus berkembang.
“Sebenarnya kalau dibandingkan dengan China, tekfin kita masih di bawah, dan yang berkembang baru peminjaman online saja,” kata Suwandi kepada Bisnis.com, Kamis (14/11/2019).
Dia menambahkan saat ini bisnis model tekfin sangat luas, meliputi pembayaran, asuransi, peminjaman dan lain-lain. Astra tertarik dengan teknologi asuransi karena di Indonesia masih baru.
Selain tekfin, sambungnya, Astra juga membuka peluang untuk bersinergi dengan perusahaan rintisan yang bergerak di sektor pertanian.
Astra memiliki bisnis minyak kelapa sawit. Astra ingin terdapat pesawat tanpa awak yang dapat mendukung jalannya bisnis minyak kelapa sawit Astra.
Meski memiliki banyak sektor yang diincar, sayangnya, Suwandi tidak menyebutkan tingkat atau stage pendanaan yang akan diberikan.
Sementara itu, Manager Portofolio Innovation Factory Salim Group, Edmund Carulli mengatakan bahwa perseroan lebih tertarik berinvestasi di teknologi, makanan dan non-makanan seperti kecantikan, edukasi, otomotif dan lain-lain.
Dia mengatakan perseroan mengincar perusahaan yang membutuhkan pendanaan di tahap awal atau seed, yaitu kisaran Rp500 juta–Rp2,5 miliar. Salim Group selama 3 tahun terakhir telah berinvestasi kepada 25 perusahaan rintisan di berbagai sektor.
Edmund menjelaskan dalam menyalurkan investasi, perseroan berfokus pada perusahaan rintisan yang memiliki pendapatan sebelum pajak atau earnings before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA) yang positif.
“Dari awal kami tidak percaya dengan perusahaan yang bakar duit,” kata Edmund.
Di samping mengincar perusahaan yang memiliki untung, perseroan juga mencari perusahaan yang dapat bersinergi dengan bisnis yang dimiliki.
Selama ini beberapa perusahaan besar enggan mendekati perusahaan rintisan, begitu pun dengan perusahaan rintisan yang merasa tidak cocok dengan perusahaan yang besar.
Mengenai Salim Group yang terjun mendekati perusahaan rintisan, Edmund mengatakan salah satu alasannya karena perusahaan untuk mengimbangi perubahan.
“Inovasi. Saya pikir semu korporasi yang sudah lama pasti terus berinovasi agar terus tumbuh,” kata Edmund.
Dia mengatakan dalam mencari perusahaan rintisan untuk diberi pendanaan awal, sumber daya manusia yang mumpuni dan kesiapan perusahaan rintisan dalam membuat peta jalan masih menjadi tantangan.
Perseroan kesulitan dalam mencari SDM yang berbobot dan perusahaan yang memiliki peta jalan yang jelas.
KESENJANGAN PENDANAAN
Sementara itu Ketua Dewan Pembina NextICorn, Rudiantara mengatakan saat ini masih terjadi kesenjangan pendanaan yang membuat perusahaan rintisan sulit naik kelas, termasuk untuk menjadi unikorn.
Padahal selama ini banyak perusahaan modal ventura yang memiliki uang namun kesulitan dalam mencari perusahaan rintisan yang bagus untuk didanai.
Oleh sebab itu, dia mengatakan dengan hadirnya NextICorn diharapkan permasalahan perusahaan rintisan dalam menggalang dana dapat teratasi.
“Jadi istilahnya NextICorn itu ‘mak comblang’“ kata Rudiantara.
Rudiantara juga berharap melalui acara ini memicu terciptanya tiga unikorn baru di tahun depan. Sehingga dapat mendorong Indonesia untuk menjadi The New Economy Global Hub
Ketua Yayasan NextICorn, Daniel Tumiwa mengatakan melalui acara yang diselenggarakan hari ini juga merealisasikan minimal 1.500 pertemuan dari 4.800 permintaan yang sudah tercatat antara 103 startup dan 169 investor selama 2 hari ke depan.
Dia mengatakan dengan banyaknya jumlah pertemuan yang terjalin, harapannya akan lebih meningkatkan kemungkinan terjadinya kesepakatan antara investor dengan perusahaan rintisan.
Daniel menegaskan bahwa ajang ini bukan bertujuan untuk menciptakan lebih banyak startup lagi, tetapi untuk membantu perusahaan rintisan yang model bisnis dan strukturnya sudah kokoh, untuk naik kelas ke tingkatan selanjutnya.
“Untuk itu kami merumuskan standar yang komprehensif dalam mengkurasi startup ini. Jika dilihat dari pendanaannya, dari 103 perusahaan rintisan yang hadir kali ini, sekitar 20% sebelumnya sudah pernah mendapat pendanaan kurang dari US$1 juta. Sedangkan, 55% telah memperoleh pendanaan US$1 juta-US$5 juta, dan 25% di atas US$5 juta,” ujar Daniel.
Berdasarkan laporan terbaru dari Google dan Temasek, Indonesia kini merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan new economy yang paling pesat dalam 5 tahun terakhir di kawasan Asia Tenggara. Pada 2019, ekonomi digital Indonesia sendiri telah mencapai US$40 miliar, atau tumbuh lima kali lipat dibandingkan dengan 2015 yang hanya mencapai US$8 miliar.
Dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 49% per tahun, Indonesia bahkan diyakini dapat menembus US$130 miliar pada 2025.
Sumber: Bisnis.com